Laman

Jumat, 18 Januari 2013

KPU Anggap Kantornya Tak Layak


Malang Media Rakyat
KPU Kabupaten Malang merasa kantor yang dimilikinya selama ini sangat kecil dan tak representatif. Untuk sekadar mengundang rapat anggota panitia pemilihan kecamatan (PPK) saja, kantor KPU yang saat ini berada dalam satu kompleks dengan gedung dewan sudah tak muat.”Bayangkan saja, kami punya 33 PPK, masing-masing PPK jumlahnya lima orang. Ar tinya kami memiliki 185 PPK. Kalau ka mi rapat, tentu saja ruangan di KPU ti dak cukup. Makanya kami butuh ruangan dan kantor yang cukup besar,” kata ketua KPU Kabupaten Malang Abdul Holik di sela hearing dengan komisi A DPRD Kabupaten Malang, kemarin  siang.Selama inimengggunakan ruang si dang paripurna milik DPRD atau aula Di nas Kesehatan (Dinkes) Pemkab Malang un tuk melakukan rapat.Permintaan KPU ini rupanya mendapatkan respons dari pemkab. Dalam rapat pemba hasan kemarin, pemkab menyediakan lahan di kawasan Jalan Raya Sumedang. Ren cananya, kantor KPU akan berdiri di atas lahan 1.000 meter persegi. Namun, terang Holik, idealnya KPU diberi lahan 2.000 meter persegi. Terpisah, Kabag Pertanahan Pemkab Malang Rizali menyatakan, bupati menyetujui opsi pemberian lahan 1.000 meter persegi.(zis/mud)

Warga Tutup Paksa 2 Sekolah karena Sengketa Lahan


Malang Media Rakyat
Kasus pendidikan di Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang ini menarik. Seorang warga setempat tiba-tiba menyegel dan menutup paksa dua sekolah (SD dan SMP di sana), karena mengaku tanah dua tempat sekolah itu miliknya.Tindakan warga bernama Suparno ini sempat membuat 200 siswa di dua sekolah itu merasa waswas Mereka terancam terlantar. Dua sekolah itu adalah SDN Kedungsalam 02 dan SMP PGRI Kedungsalam, Donomulyo.Aksi penyegalan ini dengan membuat pagar dari kayu bambu yang ditancapkan di depan pintu SMP PGRI Kedungsalam. Sedangkan di SDN Kedungsalam hanya menempeli tulisan ”Tanah Milik Krijomejo, Dirampas” serta mengunci pintu masuk.Proses belajar mengajar sempat terhambat, karena siswa di dua sekolah tersebut tidak bisa masuk. Baru sekitar pukul 11.00, setelah melalui proses negosiasi, Suparno akhirnya mengalah dan mencabut patok dan membuka kunci pagar. ”Saya sungkan dengan Pak Kades, beliau masih tetangga sendiri. Jadi langsung saya buka pagarnya pukul 11.00,” kata Suparno ditemui di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari sekolah tersebut.Versi Suparno, aksi yang dilakukan itu klimaks kekecewaannya kepada pihak sekolah. Sebab, dirinya memiliki bukti kuat bahwa lahan seluas 1.800 meter persegi itu milik ayahnya, almarhum Krijomejo. Namun, di atas lahan tersebut didirikan dua sekolah. SDN Kedungsalam 02 dan SMP PGRI didirikan tahun 1970. Saat ini total dua sekolah tersebut memiliki 200 siswa. Sebanyak 100 siswa di SDN Kedungsalam 02 dan sisanya siswa SMP PGRI.Suparno menjelaskan, lahan milik ayahnya tersebut pada 1968 dirampas pemerintah. Tanah itu akan digunakan untuk kepentingan TNI Angkatan Darat. Tapi belakangan ternyata tidak jadi digunakan TNI, justru digunakan untuk bangunan dua sekolah tersebut. ”Kami punya bukti kepemilikan tanah tersebut secara sah,” tegas dia. Bukti yang dimaksud adalah surat pemeritahuan PBB atas nama ayahnya serta surat ketetapan pembayaran iuran daerah yang dikeluarkan pada 1976. Bahkan, lanjutnya, tiap tahun keluarganya mengeluarkan Rp 80 ribu untuk membayar PPB lahan tersebut. Ini sudah berlangsung selama 44 tahun. ”Uang untuk bayar PPB ini dari pribadi kami. Pihak sekolah sama sekali tidak membantu,” terang dia.Suparno juga mengatakan, dirinya sudah menagih ke sekolah sejak 3,5 tahun yang lalu. Tapi hanya diberikan janji. Sehingga dia nekat mematoki sekolah tersebut. ”Wali murid banyak yang mendukung. Karena ini memang hak kami,”tambahnya.Ditambahkan, pada Senin malam lalu pihaknya juga telah musyawarahdengan pihak desa, polsek, kecamatan dan sekolah. Dalam pertemuan itu, dia menuntut pelepasan lahan serta ganti untung senilai Rp 1 miliar. ”Mereka sudah berkomitmen. Kalau janji mereka tidak ditepati lagi, terpaksa akan menyegel lagi. Kami kasih waktu empat hari mulai hari ini (kemarin),” ancam Suparno.Sementara itu, pihak SDN Kedungsalam 02 tidak bisa berbuat banyak. Tapi hanya bisa berharap agar semua pihak mengedepankan nasib pendidikan siswa. ”Kami hanya menjalankan tugas mengajar. Jadi, kalau masalah sengketa lahan itu urusan pemerintah dan ahli waris. Tapi kami berharap anak-anak tetap bisa belajar dan hukum tetap berjalan seperti semestinya,” kata Bambang Yuda, wakasek SDN Kedungsalam 02 saat ditemui Radar Malang, kemarin.Terpisah, Dinas Pendidikan (Diknas) Kabupaten Malang juga mengatakan hal senada. Karena pada dasarnya, diknas dan sekolah hanya menjalankan pembelajaran. Tapi kalau masalah sengketa lahan ituurusanya pemerintah kabupaten dan ahli waris. ”Kami juga tidak bisa berbuat banyak. Karena tugas kami hanya memakai dan menjalankan pembelajaran di sekolah yang dimiliki pemkab,” kata Bambang Setiyono, kabid TK dan SD Diknas Kabupaten Malang.Namun, lanjutnya, berdasarkan informasi dari UPTD setempat, pembelajaran di sekolah kemarin tidak ada masalah. Untuk masalah sengketa lahan sudah dibicarakan antara camat, pihak sekolah dan ahli waris. ”Kami juga berharap agar pembelajaran di sekolah tidak terganggu. Tapi proses hukum biar berjalan sesuai dengan aturanya,” tandas dia.Dalam waktu dekat, dia juga akan berkoordinasi dengan UPTD untuk membicarakan masalah ini. Mengingat waktu yang diberikan oleh ahli waris hanya empat hari. ”Gimana baiknya, nanti harus dicarikan solusinya,” tandas dia.Sementara itu, Vera Malikei, notaris di Kabupaten Malang mengatakan, bukti pembayaran PPB (pajak bumi dan bangunan) belum bisa dijadikan bukti kepemilikan tanah. Meskipun pemiliknya terus membayar PBB ketika jatuh tempo. ”Yang diakui pemerintah hanya sertifikat,” kata Vera kepada Radar kemarin.Tak hanya itu, lanjutnya, surat petok juga tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan tanah sah. Karena yang secara sah ditetapkan oleh negara adalah sertifikat. ”Petok ini digunakan pada zaman Belanda. Kalau ingin diakui secara sah atas kepemilikan tanah, ya harus mengurus sertifikat tersebut,” ucap dia.(zis/mud)