Dulu, ketika lahan pertanian masih
membentang luas, ketika Indonesia masih berwarna hijau, ketika para petani
masih bersemangat mengayunkan cangkulnya, tidak pernah terdengar keluh kesah
masalah pupuk yang hilang dari peredaran. Bahkan bangsa ini begitu bangga
dengan keberhasilan swasembada pangan, sehingga bisa berbagi dengan
negara-negara yang membutuhkan. Padahal, kala itu pabrik pupuk hanya satu.
Sekarang,
ketika lahan pertanian telah banyak berubah menjadi jalan, pabrik dan perumahan,
ketika warna hijau Indonesia sudah semakin memudar, ketika pabrik pupuk sudah
bertebaran di berbagai kota di Indonesia, mengapa pupuk semakin sulit di
dapatkan ? Ada apa dengan Indonesia ku ini ?
Sebagai
rakyat kecil dengan pemikiran yang kecil pula, yang bisanya hanya menerka-nerka
seperti mau pasang nomor togel, dengan kemampuan logika yang pas-pasan,
mestinya kalau lahan pertanian semakin sempit di tambah pabrik pupuk yang
semakin banyak, yang terjadi adalah melimpahnya pupuk di pasaran. Kalau
ternyata yang terjadi justru pupuknya menghilang, maka rakyat kecil tidak mampu
menjangkau pemikiran para elit yang sering keluar dari logika.
Rakyat kecil
terlalu konsisten dengan teori berhitung yang sederhana, bahwa satu di tambah
satu selalu dua. Sedangkan para elit sudah menggunakan teori matematika tingkat
tinggi, satu di tambah satu bisa menjadi hilangmya pupuk agar hasil pertanian
bangsa ini semakin terpuruk. Karena nyatanya beras import dari luar negeri
lebih menggiurkan untungnya dari pada berdagang berasnya bangsa sendiri.
Akhirnya masyarakat harus sadar bahwa di negeri ini ada
persoalan yang berusaha di selesaikan, dan ada pula persoalan yang sengaja di
ciptakan.****