Oleh
: HM
Yahya Abuamar
Terbitnya Undang-undang Nomor 5
tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan
sebutan UUPA dan telah dimasukkan dalam Lembaran Negara No. 104 tahun 1960
patut di syukuri, karena merupakan
penjabaran dari Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang termaktub
dalam Undang –undang No. 5 tahun 1960
pasal 2 menyebutkan :
(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang2 Dasar dan hal2
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi,air dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
(2) Hak menguasai dari Negara termaksuddalam ayat (1) pasal ini memberi
wewenang untuk :
a.
Mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan , penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya
bumi, air dan ruang angkasa.
b.
Menentukan dan mengatur
hak-hak yang dapat dipunyai atas (
bagian dari ) bumi ( tanah ) , air dan ruang angkasa itu.
c.
Menentuntukan dan
mengatur hubungan – hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan – perbuatan
hukum yang mengenai bumi,air dan ruang angkasa.
sebelumnya Hukum Agraria yang diberlakukan di Indonesia masih menggunakan warisan dari pemerintah
kolonial belanda bersumber dari pada Burgerlijk Wetboek dan Agrarisch wet
tahun 1870 no. 55,di Indonesia terjadi dua macam perbedaan perlakuan terhadap
tanah, cenderung diskrimasi terhadap rakyat Indonesia yakni :
1.
Tanah barat atau Eropah
yaitu tanah-tanah yang dimiliki orang-orang Belanda atau yang
dipersamakan dengan Belanda diperlakukan Hukum Eropah sebagaimana yang diatur
dalam KUH Perdata seperti tanah eigendom, tanah opstal dan lainnya didaftar
pada Kantor Khusus atau dikenal Kantor Kadaster dengan suatu peraturan yang
yang terkenal Ondonansi Balik Nama
( Overschrij vingsordonnantie ) diberikan jaminan adanya kepastian
hukum,
2.
sedangkan
tanah – tanah yang berdasarkan Hukum Adat
Yaitu keberadaan tanah yang banyak dimiliki oleh rakyat Indonesia asli
seperti tanah Ulayat, tanah gogol, tanah usaha, tanah bengkok, dan lain-lain , tidak didaftar sehingga tidak terjamin
adanya Kepastian Hukum,
Kehadiran UU No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA telah
menghilang “ dualisme “ dan tercapailah suatu kesatuan hukum ( Unifikasi ) di
bidang hukum pertanahan di wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia,
Sesuai dengan asas kebangsaan tersebut, dalam
pasal 1 UU No. 5 tahun 1960 dan
menurut pasal 9 jo. Pasal 21 (1) hanya Warga Negara Indonesia ( WNI ) yang
dapat mempunyai hak atas tanah; pemindahan hak milik kepada orang asing
dilarang ( pasal 2 (a) Meskipun pada dasarnya badan – badan hukum tidak dapat
mempunyai hak milik atas tanah ( pasal 21 ayat (2), namun mengingat akan
keperluan masyarakat yang erat
kaitannya dengan paham keagamaan,
sosial , maka diadakan suatu “ escape clause”yang memungkinkan badan hukum
tertentu mempunyai hak milik atas tanah atau diberikan dispensasi oleh
pemerintah ( lihat pada pasal 21 ayat (3 ) dan pasal 49 UU No. 5 Tahun 1960) namun sepanjang
tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan keagamaan itu..
Disusul dengan berbagai peraturan pelaksanaannya,
dan sampai sekarang jumlahnya sangat banyak, lalu terus disusul
denganperaturan-peraturan lainnya yang lebih baru..
Menteri
Negara Agraria mengeluarkan keputusan Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib
Pertanahan adalah Catur Pertanahan
adalah :
1.
Tertib hukum pertanahan
2.
Tertib administrasi
pertanahan
3.
Tertib penggunaan Tanah
4.
Tertib pemeliharaan
tanah dan lingkungan hidup.
Perwakafan
di Indonesia.
Praktek wakaf merupakan perbuatan hukum yang
telah lama dilaksanakan oleh masyarakat Indonesia, seiring dengan
perkembangan dakwah Islam di Nusantara, kehadiran bangunan bersejarah seperti
Masjid, Pondok Pesantren,Musholla ( Surou/langgar ) dan bangunan sejenisnya yang dibangun pada masa pra kolonial maupun
sejak NKRI diproklamirkan sampai sekarang merupakan bukti sejarah bahwa
keberadaan wakaf telah ada,
Pemerintah tidak menafikan keberadaan tanah-tanah
yang dimiliki maupun yang telah
didirikan bangunan dan dikuasai oleh organisasi sosial keagamaan tersebut, hal ini dinyatakan
jelas dalam pasal 49 Undang-undang No. 5 / 1960 bahwa sepanjang dipergunakan untuk usaha keagamaan
dan sosial dan akan dilindungi dan diatur dalam Peraturan Pemerintah ( PP ),
Perintah UU No. 5/ 1960 di tindak lanjuti setelah tujuh belas tahun,kemudian
dengan menerbitkan
1.
Peraturan Pemerintah No,
28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan tanah milik.
2.
Peraturan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1978 tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Perwakafan Tanah
Milik. Telah diatur Kepala Kantor Urusan Agama ( KUA) kecamatan ditunjuk
sebagai Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf
( PPAIW )
3.
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No 3
tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan
PP
No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
Pada dasarnya PP No. 28 Tahun 1977 hanya mengatur
tentang wakaf tanah ( Harta Benda
Wakaf yang tidak bergerak ) . lalu bagaimana dengan keberadaan harta benda
wakaf yang obyeknya bisa bergerak seperti bangunan dan lain sebagainya.
Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik membatasi obyek
wakaf hanya pada tanah hak milik saja, tidak mencakup harta lainnya yang
dimiliki oleh wakif. Adapun ketentuan
PP No. 28 Tahun 1977 ternyata dirasa masih kurang setelah melihat kebutuhan
masyarakat. Terlebih setelah dibentuknya Pengadilan Agama berdasarkan
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama . Salah satu kekuasaan
Pengadilan Agama berdasarkan ketentuan pasal 49 UU No. 8 Tahun 1989
disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa
Memutus
dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang wakaf untuk mengatasi disahkan kemudian Intruksi
Presiden No,1 tahun 1999 tentang kompilasi hukum Islam ( KHI ) salah satunya
juga mengatur tentang wakaf tentang
Perwakafan,salah satunya juga mengatur tentang Perwakafan sebelum tahun 2000. Kebreradaan
KHI.Berdasarkan TAP MPRS No.lll MPR.RI/2000 tentang sumber hukum dan tata
urutan peraturan-perundang-undanga, tidak disebutkan Instruksi Presiden.
Majlis Ulama Indonesia ( MUI ) mengeluarkan Fatwa
tentang Wakaf Uang /Cash Wakaf atau Waqf al-Nuqud , yakni wakaf yang
dilakukan oleh perorangan maupun kelompok dalam bentuk uang tunai, termasuk
surat-surat berharga, dan wakaf uang tersebut dihukumi jawaz ( boleh ) , dan
hanya boleh disalurkan untuk hal-hal berdasarkan syar’I dan dijamin
kelestariannya. ( II/5/2002) .
Puncaknya Pemerintah pada tanggal 27 Oktober 2004
mengundangkan Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf
Keberadaan Undang-undang 41 Tahun 2004 ditinjau dalam perspektif ilmu perundangan-undangan
merupakan payung hukum praktik perwakafan di Indonesia dan, sasaran
berlakunya ketentuan wakaf tersebut
tidak semata – mata untuk internal umat Islam di Indonesia, melainka tanah berlaku mengikat juga terhadap setiap warga negara Indonesia. Keberadaan harta wakaf sesuai UU No. 41/ 2004 tentang Wakaf dan tersirat dalam pasal 5 yang menyatakan
wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda
untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, maka
diberikan hak milik khusus, selanjutnya didaftarkan menurut ketentuan sehingga
memiliki kepastian hukum.
Dalam UU
No 41 tahun 2004 secara tegas dinyatakan tentang Wakaf
” Bahwa
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu “
Undang
undang Nomor 41 Tahun 2004, Tentang
Wakaf, dan PP Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan, lahir di tengah-tengah
adanya semangat serta antusias masyarakat pemberdayaan wakaf secara
produktif, sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial ekonomi
masyarakat, sekaligus untuk melestarikan kemanfaatan harta benda wakaf,sepanjang
tidak bertentangan dengan syariah, serta upaya dan
menghindari terjadinya keterbengkalaian, atau pengelolaan wakaf yang tidak
profesional oleh Nadzir wakaf.Undang-undang Wakaf menentukan bentuk-bentuk
perbuatan hukum yang dibolehkan dan dilarang terhadap harta benda wakaf, dari
pengikatan jaminan, penyitaan, hibah ,jual-beli, pewarisan,tukar menukar
bahkan dalam perbuatan hukum lainnya yang dapat berakibat terjadinya perubahan
peruntukan atau peralihan harta benda Adanya mengatur sanksi terhadap pelanggaran
tersebut
BADAN
WAKAF INDONESIA. DAN PERANANNYA.
Pada umumnya masyarakat belum memahami hukum wakaf secara benar, baik
dari rukun wakaf,syarat wakaf maupun maksud dan tujuan disyariatkan wakaf,
siapa yang boleh berwakaf, apa saja yang boleh diwakafkan, siapa yang boleh
dan dapat ditunjuk sebagai Nadzir dan lain sebagainya. Selama ini masih
banyak pengurusan dan
pengelolaan wakaf. bersifat konvensional dan tradisional atas dasar saling
percaya antara Wakif dan Nadzir,
bahkan cenderung kurang memperhatikan faktor keamanan harta benda wakaf,
sehingga apabila terjadi perbuatan hukum baik disengaja maupun tidak atau karena
minimnya pengetahuan tentang peraturan perundangan yang berlaku akan berdampak
beralihnya hak kepemilikan maupun peruntukan harta benda wakaf serta dimungkinkan
akan terjadi sengketa terhadap tanah
wakaf,
Tidak
dipungkiri bahwa para Wakif menunjuk
seorang menjadi Nadzir dipilih karena
keilmuannya, mereka luar biasa, sangat paham terhadap tradisi wakaf baik
secara teori maupun praktek, dalil-dalil tentang wakaf dan sejarahnya tidak
diragukan, namun pengelolaan wakaf agar bisa berkembang dan memiliki
kepastian hukum dari segi peraturan dan perundang-undangan memerlukan
kreatifitas, mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada, mampu bekerjasama dengan
lokasi harta benda wakaf itu berada, sehingga harta benda wakaf dapat
terkelola secara baik.
Dalam rangka
memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional dibentuk Badan Wakaf
Indonesia ( BWI ) yang merupakan lembaga independen dalam melaksanakan
tugasnya. ( Pasal 47 (1) dan (2).
Dan sangat berperan dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pengelola wakaf baik perorangan, organisasi maupun badan
hukum, agar dapat mengembangkan wakaf
secara baik dan profesional terutama kepada Nadzir.
Pasal 48 UU Wakaf No.41 /2004 berkedudukan di
Ibukota NKRI dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
sesuai dengan kebutuhan.
Pada pasal 49 ayat (1) bahwa BWI mempunyai tugas dan wewenang ;
a.
Melakukan pembinaan
terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf;
b.
Melakukan pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional;
c.
Memberikan persetujuan
dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf;
d.
Memberhentikan dan
mengganti Nazhir;
e.
Memberikan persetujuan atas
penukaran harta benda wakaf;
f.
Memberikan saran dan
pertimbangan kepada Pemerintah dalam menyusun kebijakan di bidang perwakafan.
Pada pasal 49 ayat (2) disebutkan bahwa (BWI)
dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah,
organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang
dipandang perlu.
Pasal 50 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49, BWI memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan
Majelis Ulama Indonesia
Terkait dengan tugas melakukan pembinaan terhadap
Nadzir, BWI melakukan beberapa langkah strategis, sebagaimana disebutkan
dalam PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor.
41/2004 tentang wakaf pasal 53
meliputi
1.
Penyiapan sarana dan
prasarana penunjang operasional Nadzir, baik Perorangan, Organisasi dan Badan
Hukum
2.
Penyusunan regulasi
pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian, pemberdayaan dan
pengembangan terhadap harta benda wakaf.
3.
Penyediaan fasilitas
proses sertifikasi wakaf.
4.
Penyiapan dan pengadaan
blanko-blanko AIW, baik wakaf benda bergerak ataupun benda tidak bergerak
5.
Penyiapan penyuluh
penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan wakaf kepada
Nadzir sesuai dengan lingkungannya.
6.
Pemberian fasilitas
masuknya dana –dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam pemberdayaan
wakaf.
BWI telah merancang VISI dan MISI serta strategi implementasinya,
“ V I S I “ Adalah
Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat. Mempunyai kemampuan
dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional “
“ M I S I “ Adalah menjadikan Badan Wakaf Indonesia
sebagai lembaga profesional yang mampumewujudkan potensi dan manfaat ekonomi
harta benda wakaf untuk kepentingan ibada dan pemberdayaan masyarakat”.
Harta benda wakaf bila
dikelola secara produktif, akan dapat mensejahterkan masyarakat, maka
keterlibatan para ahli untuk bicara tentang wakaf, baik dalam seminar/
worshop dan lain-lain.
STRUKTUR BADAN WAKAF INDONESIA.
Pasal 51 ayat (1), (2) dan (3)
bahwa: BWI terdiri atas Badan
Pelaksana ( BP ) merupakan unsur pelaksana tugas
BWI. dan Dewan Pertimbangan ( DP ). merupakan unsur pengawas pelaksanaan
tugas BWI. sesuai Pasal 52 ayat (1) dan (2) Susunan organisasi ( BP ) maupun
( DP )dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua) orang Wakil Ketua yang
dipilih dari dan oleh para anggota.yang anggotanya min 20 (dua puluh) orang Max. 30 (tiga
puluh) yang berasal dari unsur
masyarakat
Pasal 54 ayat (1)dan (2) Persyaratan menjadi
anggota BWI,:
a.
Warga Negara Indonesia
b.
Beragama
Islam;
c.
Dewasa;
d.
Amanah;
e.
Mampu
secara jasmani dan rohani;
f.
Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g.
Memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau
pengalaman di bidang perwakafan dan/atau ekonomi khususnya di bidang ekonomi syariah; dan
h.
Mempunyai
komitmen yang tinggi untuk , mengembangkan perwakafan nasional.
( Oleh
: HM
Yahya Abuamar )
|
|
Laman
Kamis, 17 Oktober 2013
MENGENAL PERWAKAFAN , NAZIR SERTA PERANAN BADAN WAKAF INDONESIA.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar