Laman

Kamis, 05 Maret 2015

GENERASI MALING



Koruptor adalah maling. Istri koruptor berarti istrinya maling. Anak koruptor juga anaknya maling. Orangtua koruptor sama dengan orangtuanya maling. Dan maling, adalah sebuah predikat yang paling hina, nilai moralnya jauh di bawah pengemis. Artinya, menjadi mengemis masih sedikit bergengsi dari pada menjadi maling, karena apa yang diperoleh oleh pengemis masih bernuansakan spiritual, masih ada nilai kesabaran dan keikhlasan. Sedangkan yang dimiliki oleh koruptor, seratus persen nafsu keserakahan. Nafsu keserakahan adalah nafsu yang dimiliki oleh iblis dan setan. Maka tidak salah bila disimpulkan bahwa koruptor adalah wujud jasmaniah manusia yang berjiwa iblis dan setan. Yang di dunia di nista, dan di akhirat di laknat.
Bagaimana proses kelahiran seorang koruptor ?  Saya menjadi setuju dengan teori genetika yang dicetuskan oleh Gregor Johann Mendel.  Koruptor tidak lahir secara serta merta merwarnai kancah kehidupan manusia dengan berbagai aspeknya. Seorang koruptor pasti lahir dari generasi sebelumnya yang juga koruptor. Entah bapaknya dulu maling, emaknya jabret, atau embahnya rampok. Gen yang terdapat dalam diri seorang koruptor bersifat generatif, yang diperolehnya secara turun temurun dari pendahulunya. Bisa secara langsung dari generasi di atasnya, bisa pula dari generasi jauh di atasnya lagi. Yang pasti, bukan hanya faktor kesempatan yang membuat lahirnya niat jahat, tapi warisan kehajatan yang memang sudah melekat.
Bagaimana memutus mata rantai generika ?  Secara keilmuan, mata rantai genetika tidak dapat diputus, karena telah menjadi bagian dari ciri-ciri perilaku kehidupan manusia. Sedikit atau banyak, perilaku manusia dan ciri-ciri fisiknya dipengaruhi oleh generasi kehidupan sebelumnya. Namun dengan rekayasa genetika terbukti dapat dilakukan upaya untuk meminimalisir besarnya pengaruh dari gen yang dibawanya. Dalam konteks tulisan ini, yang diperlukan adalah niat dan kejujuran.
Sebelum seseorang memegang tampuk kekuasan atau jabatan apapun, ada baiknya melakukan introspeksi diri untuk mengetahui seberapa besar prosentase kejahatan yang ada di dalam dirinya,  atau setidaknya mengukur kecenderungan-kecenderungan yang mungkin bisa muncul bila kesempatan untuk melakukan kejahatan ada di depan mata.
Jika kemudian diketahui bahwa kakek buyutnya dulu adalah seorang maling, dan menyadari kalau dirinya juga memilki insting yang baik untuk menjadi maling, maka jika ingin memutus mata rantai genetika, harus berani mengurungkan niat untuk menjadi pejabat. Karena kalau memaksakan diri menjadi pejabat, bisa dipastikan akan menjadi pejabat yang juga berprofesi ganda sebagai maling alias koruptor.   Harus berani memilih profesi lain yang lebih terhormat dari anggota DPR, misalnya menjadi tukang tambal ban.
            Di Indonesia, industri topeng sangat laku keras. Para perajin topeng mengaku kewalahan memenuhi banyaknya pesanan. Tapi anehnya, pesanan topeng tidak berasal dari turis mancanegara yang mengangumi tradisi dan budaya Indonesia. Kebutuhan topeng justru untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Terlebih ketika menjelang pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Karakteristik topeng tertentu sangat dibutuhkan untuk menutupi wajah-wajah para penipu yang berlagak bijak. Para calon maling butuh topeng untuk menutupi sorot mata liarnya, yang melirik sana sini, menghitung apa saja yang bisa dimakan ketika kedudukan sudah berhasil di dapatkan.  Dan ironisnya, masyarakat selalu saja tertipu oleh para maling yang bertopeng negarawan dan dermawan.
            Karena secara kutural telah lahir dari generasi maling, maka mencuri, merampok dan menjarah bukan lagi menjadi aib yang patut untuk di sesali. Tidak terlihat sedikitpun ekspresi penyesalan dan kesedihan ketika kedok telah di tanggalkan. Mereka bahkan menyunggingkan senyum, seolah merasa bangga telah berhasil mewarisi bakat dari nenek moyangnya. Berbeda dengan mereka yang mencuri secara kondisional, yang tidak tumbuh secara generatif dari gen nya maling, ekspresi kesedihan dan penyesalan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk berargumentasi, tidak pula mencari dalih untuk melegitimasi perbuatannya. Walau yang mereka ambil hanya segenggam biji kopi.
            Upaya-upaya yang dilakukan oleh institusi penegak hukum seperti KPK hanyalah ibarat memotong rumput yang tumbuh subuh di halaman rumah. Hari ini dipotong, besok akan tumbuh subur lagi. Tidak akan pernah bisa mencabut sampai ke akar-akarnya. Karena akar dari rumput tersebut sudah menjadi bagian dari fondasi sistem yang dibangun oleh para malingnya sendiri. Rumput di potong hanya menjadi indah secara estetika, tapi tidak menyentuh pada substansi pemotongannya..*****


Jhoni  Saputra
               
           
              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar