Koruptor adalah
maling. Istri koruptor berarti istrinya maling. Anak koruptor juga anaknya
maling. Orangtua koruptor sama dengan orangtuanya maling. Dan maling, adalah
sebuah predikat yang paling hina, nilai moralnya jauh di bawah pengemis.
Artinya, menjadi mengemis masih sedikit bergengsi dari pada menjadi maling,
karena apa yang diperoleh oleh pengemis masih bernuansakan spiritual, masih ada
nilai kesabaran dan keikhlasan. Sedangkan yang dimiliki oleh koruptor, seratus
persen nafsu keserakahan. Nafsu keserakahan adalah nafsu yang dimiliki oleh
iblis dan setan. Maka tidak salah bila disimpulkan bahwa koruptor adalah wujud
jasmaniah manusia yang berjiwa iblis dan setan. Yang di dunia di nista, dan di
akhirat di laknat.
Bagaimana proses
kelahiran seorang koruptor ? Saya
menjadi setuju dengan teori genetika yang dicetuskan oleh Gregor Johann
Mendel. Koruptor tidak lahir secara
serta merta merwarnai kancah kehidupan manusia dengan berbagai aspeknya.
Seorang koruptor pasti lahir dari generasi sebelumnya yang juga koruptor. Entah
bapaknya dulu maling, emaknya jabret, atau embahnya rampok. Gen yang terdapat
dalam diri seorang koruptor bersifat generatif, yang diperolehnya secara turun
temurun dari pendahulunya. Bisa secara langsung dari generasi di atasnya, bisa
pula dari generasi jauh di atasnya lagi. Yang pasti, bukan hanya faktor
kesempatan yang membuat lahirnya niat jahat, tapi warisan kehajatan yang memang
sudah melekat.
Bagaimana memutus
mata rantai generika ? Secara keilmuan,
mata rantai genetika tidak dapat diputus, karena telah menjadi bagian dari
ciri-ciri perilaku kehidupan manusia. Sedikit atau banyak, perilaku manusia dan
ciri-ciri fisiknya dipengaruhi oleh generasi kehidupan sebelumnya. Namun dengan
rekayasa genetika terbukti dapat dilakukan upaya untuk meminimalisir besarnya
pengaruh dari gen yang dibawanya. Dalam konteks tulisan ini, yang diperlukan
adalah niat dan kejujuran.
Sebelum seseorang
memegang tampuk kekuasan atau jabatan apapun, ada baiknya melakukan introspeksi
diri untuk mengetahui seberapa besar prosentase kejahatan yang ada di dalam
dirinya, atau setidaknya mengukur
kecenderungan-kecenderungan yang mungkin bisa muncul bila kesempatan untuk
melakukan kejahatan ada di depan mata.
Jika kemudian diketahui bahwa kakek buyutnya dulu adalah
seorang maling, dan menyadari kalau dirinya juga memilki insting yang baik
untuk menjadi maling, maka jika ingin memutus mata rantai genetika, harus
berani mengurungkan niat untuk menjadi pejabat. Karena kalau memaksakan diri
menjadi pejabat, bisa dipastikan akan menjadi pejabat yang juga berprofesi
ganda sebagai maling alias koruptor. Harus berani memilih profesi lain yang lebih
terhormat dari anggota DPR, misalnya menjadi tukang tambal ban.
Di
Indonesia, industri topeng sangat laku keras. Para perajin topeng mengaku
kewalahan memenuhi banyaknya pesanan. Tapi anehnya, pesanan topeng tidak
berasal dari turis mancanegara yang mengangumi tradisi dan budaya Indonesia.
Kebutuhan topeng justru untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Terlebih
ketika menjelang pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Karakteristik
topeng tertentu sangat dibutuhkan untuk menutupi wajah-wajah para penipu yang
berlagak bijak. Para calon maling butuh topeng untuk menutupi sorot mata
liarnya, yang melirik sana sini, menghitung apa saja yang bisa dimakan ketika
kedudukan sudah berhasil di dapatkan. Dan
ironisnya, masyarakat selalu saja tertipu oleh para maling yang bertopeng
negarawan dan dermawan.
Karena
secara kutural telah lahir dari generasi maling, maka mencuri, merampok dan
menjarah bukan lagi menjadi aib yang patut untuk di sesali. Tidak terlihat
sedikitpun ekspresi penyesalan dan kesedihan ketika kedok telah di tanggalkan. Mereka
bahkan menyunggingkan senyum, seolah merasa bangga telah berhasil mewarisi
bakat dari nenek moyangnya. Berbeda dengan mereka yang mencuri secara
kondisional, yang tidak tumbuh secara generatif dari gen nya maling, ekspresi
kesedihan dan penyesalan tergambar jelas di wajah mereka. Mereka tidak memiliki
kemampuan untuk berargumentasi, tidak pula mencari dalih untuk melegitimasi
perbuatannya. Walau yang mereka ambil hanya segenggam biji kopi.
Upaya-upaya
yang dilakukan oleh institusi penegak hukum seperti KPK hanyalah ibarat
memotong rumput yang tumbuh subuh di halaman rumah. Hari ini dipotong, besok
akan tumbuh subur lagi. Tidak akan pernah bisa mencabut sampai ke akar-akarnya.
Karena akar dari rumput tersebut sudah menjadi bagian dari fondasi sistem yang
dibangun oleh para malingnya sendiri. Rumput di potong hanya menjadi indah
secara estetika, tapi tidak menyentuh pada substansi pemotongannya..*****