Laman

Minggu, 28 April 2013

Pasal Santet Terserah DPR


Malang Media Rakyat
Saat ini DPR RI sedang menggodok pasal santet pada RUU KUHP. Sejauh ini, terkait hal tersebut, masih menjadi pro kontra di kalangan masyarakat, apakah pasal tersebut dibutuhkan atau tidak. Isu yang berkembang, pembuktian hukum untuk kasus santet ini masih sulit.Terkait hal tersebut, ahli hukum pidana Universitas Brawijaya Malang, Masruchin Ruba’i, Selasa (19/03) mengatakan jika adanya pasal santet pada RUU KUHP hanya untuk menghindari aksi main hakim oleh masyarakat, sebagaimana yang terjadi selama ini. Jika ada isu santet, selama ini masyarakat kita masih mengandalkan main hakim sendiri dan cenderung mengabaikan aparat,” ujarnya.Pasal santet tersebut, kata dia, untuk menjerat orang-orang yang disinyalir mempunyai ilmu santet. Akan tetapi, meski nantinya ada aturan/pasal santet, harus ada bukti-bukti konkrit/fisik yang menguatkan jika seseorang yang diduga mempunyai ilmu santet benar-benar nyata/ada fakta.Munculnya pasal santet ini, lanjut Ruba’i, karena adanya keyakinan masyarakat tentang santet serta tidak adanya aturan ketika masyarakat main hakim sendiri. “Masyarakat selalu main hakim sendiri meskipun yang diduga mempunyai ilmu santet belum terbukti kebenarannya. Jika aturan itu nantinya ada, maka diharapkan akan bisa meminimalisir atau bahkan mencegah aksi main hakim sendiri masyarakat ketika ada isu santet,” paparnya.“Untuk pasal santet dalam RUU KUHP ini, saya tidak bisa berbicara banyak, dan saya hanya bisa menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada para wakil rakyat yang ada di senayan. Kita lihat saja nantinya. Kalau memang diperlukan, tentu DPR mempunyai alasan yang kuat,” pungkas Ruba’i. Sumber: Humas Pemkot Malang.



RSBI di Kota Malang Masih Tunggu Instruksi Kemendikbud


Terkait penghapusan RSBI oleh MK, pada hari ini, Senin anggota komisi D DPRD Kota Malang menggelar sidak ke beberapa sekolah yang berstatus RSBI, untuk memastikan apakah sekolah tersebut masih memberlakukan RSBI.Adapun sekolah yang didatangi yaitu SMPN 1 Malang, SMAN 4 Malang, dan SMKN 4 Malang. Salah satu anggota komisi D, Rahayu Sugiarti mengatakan bahwa ternyata sekolah-sekolah tersebut masih menjalankan program RSBI, seperti halnya sistem proses belajar mengajarnya.“Kita tidak bisa memerintahkan untuk memberhentikan pola-pola belajar yang diterapkan pada RSBI. Kami masih menunggu instruksi dari kemendikbud. Kasihanlah sekolahnya, kalau tiba-tiba langsung di stop,” ujar politisi Partai Golkar itu.Perempuan berjilbab itu mencontohkan, misalnya di sekolah yang berstatus RSBI masih ada guru-guru yang masih menempuh pendidikan, biayanya akan diberhentikan, dan kita tidak mau hal itu terjadi. “Berdasarkan informasi dari sekolah, bahwa wali murid tidak mempermasalahkan masih diberlakukannya RSBI ini,” sambungnya.Sementara itu, salah satu anggota komisi D lainnya, Sutiadji mengatakan bahwa pihaknya sudah bertemu dengan bagian penerimaan siswa baru yang nantinya akan dilanjutkan rapat koordinasi dengan para kepala sekolah. “Jadwal rapat koordinasi ini akan diagendakan dalam beberapa hari mendatang,” jelas polotisi PKB itu.Sebenarnya, kata dia, RSBI tidak dihapus tidak masalah, asalkan ada pemerataan mutu dan kualitas pendidikan di Kota Malang ini. “Jangan sampai sekolah yang maju/difavoritkan yang itu-itu saja serta kuato 20 persen siswa miskin dapat dipenuhi, sesuai dengan amanat UUD 1945,” tukasnya. (Sumber: Humas Pemkot Malang)



Pelanggar Perda Kabupaten Malang Disidang


Malang Media Rakyat
Pemerintah Kabupaten Malang terbukti tidak main main dengan usaha untuk menegakkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya terhadap para pelanggar Peraturan Daerah Kabupaten Malang. Hal ini dapat diketahui dari adanya sidang tindak pidana ringan yang digelar pada hari Kamis tanggal 21 Nopember kemarin di ruang rapat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Malang Lantai II.Sidang yang berlangsung sekitar 3 jam itu dipimpin oleh Hakim Tunggal dari Kantor Pengadilan Negeri Kepanjen, Riono SH MH. Sebanyak 21 pemilik usaha yang didakwa telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) menjalani sidang Tindak Pidana Ringan II (Tipiring) di luar Gedung Pengadilan. Dari 21 pelanggar tersebut, ada pemilik usaha yang datang sendiri, namun ada juga yang diwakilkan.Terkait jenis pelanggaran, pelanggaran terbanyak adalah pelanggaran terhadap Perda No. 12 Tahun 2007 pasal 3 ayat (1) yakni tidak memiliki Izin Gangguan (HO) sebanyak 19 pelanggar. Sedangkan 2 pelanggar lainnya dituntut atas pelanggaran terhadap Perda No 11 Tahun 2007 pasal 13 ayat (1) jo. pasal 21 ayat (1) yakni tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).Setelah menjalani sidang dan mendapat putusan dari Hakim, para pelanggar dipersilahkan melaksanakan putusan, yakni memilih membayar denda atau menjalani hukuman kurungan penjara. Jumlah yang dikenakan maupun waktu kurungan yang diberikan juga bervariasi. Total denda yang harus dibayar adalah sebesar Rp 53.250.000 yang akan langsung masuk ke kas negara. (Sumber: Humas Pemkab)

Pasal Penghinaan Presiden & Wapres Diatur Lagi Dalam RUU KUHP


Jakarta Media Rakyat
Meski pasal penghinaan dalam KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, ketentuan mengenai hal ini rupanya diatur lagi dalam RUU KUHP yang kini sedang dalam pembahasan di DPR.Dalam Pasal 265 RUU KUHP dinyatakan bahwa: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.Pasal 266 selanjutnyamenentukanbahwa:(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut dalam menjalankan profesinya dan pada waktu itu belum lewat 2 (dua) tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang sama maka dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf g.Seperti diketahui, pada tanggal 4 Desember 2006, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menghapus pasal penghinaan Presiden dan Wapres dalam KUHP yang sekarang masih berlaku. Permohonan judicial review itu diajukan oleh Eggi Sudjana dan Pandapotan Lubis. Dalam pertimbangannya, MK menilai Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir.